29 Juni 2025
Redaksi
1885

Modus Korupsi dalam Tahapan E-Katalog: Tantangan Baru di Era Digitalisasi Pengadaan Barang & Jasa Pemerintah

Penulis : Zaenal Mutaqin

Surabaya, Pusakanews, Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui e-katalog digadang-gadang sebagai solusi ampuh untuk meminimalisir praktik korupsi dan meningkatkan transparansi.Namun, seiring dengan evolusi teknologi, modus-modus korupsi pun ikut beradaptasi.

KPK menyebutkan Risiko penyalahgunaan dalam pengelolaan PBJ mencapai 97%dikementerian/lembaa dan 99% di pemerintah daerah. Para pelaku kejahatan terus mencari celah, menciptakan tantangan baru dalam memastikan integritas proses pengadaan digital ini.

Meskipun e-katalog telah memangkas banyak birokrasi dan interaksi tatap muka yang rawan suap, beberapa indikasi menunjukkan adanya modus korupsi yang bergeser dan bersembunyi di balik kecanggihan sistem.

Berikut adalah beberapa modus yang patut diwaspadai:

1. Pengaturan Harga (Mark-up) Terselubung

Salah satu modus paling umum yang dicurigai adalah pengaturan harga atau mark-up yang disetujui antara oknum PPK atau Oknum pejabat pengadaan dan penyedia. Meskipun harga tertera jelas di e-katalog, ada kemungkinan harga tersebut sudah disepakati di atas harga pasar wajar sebelum diunggah ke sistem. Ini bisa terjadi melalui negosiasi "di luar sistem" atau adanya komitmen "fee" tertentu dari penyedia kepada oknum pengadaan agar produknya diserap dalam jumlah besar, dengan modus pembelian yang terus berulang lewat Penyedia itu itu saja atau kepada Penyedia afiliasi, meskipun banyak opsi lain yang lebih murah.

2. Spesifikasi "Kunci" yang Mengarah ke Produk Tertentu

Modus lain adalah penyusunan spesifikasi barang atau jasa yang sangat spesifik dan detail, sehingga hanya produk dari penyedia tertentu yang dapat memenuhinya. Praktik ini dikenal juga sebagai "mengunci" spesifikasi. Meskipun pembelian dilakukan melalui e-katalog, instansi pengadaan seolah-olah "terpaksa" memilih produk dari penyedia tertentu karena hanya produk tersebut yang memenuhi persyaratan teknis yang dibuat secara sengaja terlalu ketat atau tidak wajar. Hal ini membatasi kompetisi dan membuka celah bagi praktik KKN.

3. Transaksi Fiktif atau Fiktif Sebagian

Potensi transaksi fiktif atau fiktif sebagian juga menjadi perhatian. Meskipun sistem mencatat transaksi, ada kemungkinan barang atau jasa yang dibeli tidak sepenuhnya sesuai dengan jumlah atau kualitas yang diterima. Misalnya, pengadaan sejumlah barang A, namun yang diterima sebagian atau bahkan barang B dengan kualitas lebih rendah. Modus ini seringkali melibatkan kolusi antara oknum internal (PPHP) dengan penyedia untuk memanipulasi laporan penerimaan barang.

4. Gratifikasi dan Konflik Kepentingan Digital

Meskipun interaksi fisik berkurang, risiko gratifikasi tetap ada. Bentuknya bisa berupa hadiah tidak langsung, fasilitas mewah, atau bahkan komitmen pemberian saham atau keuntungan bisnis di masa depan kepada oknum pejabat. Konflik kepentingan juga bisa muncul ketika oknum pengadaan memiliki hubungan khusus (misalnya keluarga atau kepemilikan saham) dengan penyedia yang terdaftar di e-katalog, sehingga memprioritaskan penyedia tersebut.

Meningkatkan Pengawasan dan Integritas Sistem

Keberadaan modus-modus ini menggarisbawahi bahwa digitalisasi sistem pengadaan bukanlah jaminan mutlak bebas korupsi. Diperlukan pengawasan yang lebih ketat, analitik data yang canggih untuk mendeteksi anomali harga atau pola pembelian, serta penegakan hukum yang tegas.

Selain itu, peningkatan integritas Sumber Daya Manusia (SDM) pengadaan dan penyedia, serta partisipasi aktif masyarakat dalam memantau proses, sangat krusial untuk menutup celah-celah ini.

Pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan aparat penegak hukum, termasuk KPK, perlu terus berinovasi dalam mengidentifikasi dan memberantas modus-modus baru ini demi terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang bersih dan akuntabel.

Tags